Di Barat, tempat ateisme Richard Dawkins, Profesor Daniel Dennet, Christopher Hitchens, dan Sam Harris bermukim, wacana tentang Tuhan memang marak−dan terkadang mirip candaan. Ini karena teologi bukan bagian dari thawabit (kekal) tetapi mutaghayyirat (berubah). Layaknya furu’ dalam fiqih. Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar bagi semua. Siapa saja boleh bertanya apa saja tentang Tuhan.
Akibatnya, para teolog kebingungan. Pertanyaan-pertanyaan rasional dan protes-protes tentang ketuhanan yang didasarkan pada rasionalitas gagal dijawab oleh para teolog yang hanya didasarkan pada autoriti teologi. Teolog pun digeser oleh doktrin ateisme yang berdasarkan rasionalitas. Malah, kitab suci pun boleh dipahami tanpa autoriti teologi. Kini, sosiolog, psikolog, sejarawan, filsuf, saintis dan bahkan orang awam pun berhak bicara dan bertanya tentang Tuhan.
Bukankah Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan, Idhaa wussida al-amru ilaa ghairi ahlihaa fantidhir assaa’ata, (jika suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.) Apa kata Michael Buckley dalam At The Origin of Modern Atheism telah meneguhkan Hadist Nabi tersebut. Ateisme murni di awal era modern timbul karena autoriti teolog diambil alih oleh filosof dan saintis.
Mereka berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan pikiran, tapi tanpa rasa keimanan. Saat ilmuan muda dari Prancis, Blaise Pascal (1623-1662) meninggal, dibalik jaketnya ditemukan tulisan: “Tuhan Abraham, Tuhan Ishak, Tuhan Yaakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan”. Ini merupakan kesimpulan yang cerdas dan inilah sebenarnya masalah bagi ilmuwan ateis seperti Richard Dawkins, Profesor Daniel Dennet, Christopher Hitchens, dan Sam Harris.
Untuk melukiskan bagaimana intelektual dapat meniadakan Sang Pemilik Ilmu, Tuhan Yang Maha Kuasa, Jalaluddin Rakhmat dalam tulisannya Tuhan Yang Disaksikan Bukan Tuhan Yang Didefinisikan (Jurnal Pemikiran PARAMADINA, www.mediaisnet.org) mengisahkan:
Seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung Unta; dan berulang kali ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta.
“Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat,” tanya orang asing itu.
“Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung Unta,” jawab orang Badawi.
Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasihat, “mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat.”
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, “Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda.”
Orang asing itu menarik nafas panjang, “jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti.”
“Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu?” tanya orang Badawi.
“Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan.”
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada orang asing yang kelaparan di pinggir jalan itu, ia memberi nasehat, “hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya.”
Kisah Jalal al-Din Rumi ini merupakan kritik halus kepada para filsuf, intelektual, dan saintis yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Rumi menunjukkan bahwa dengan intelekual kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang didefinisikan.
Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan.
keren bro…….
kesannya dalem bgt….
tadinya Q juga bingung tentang hakekat tuhan……
huff……………………………